Total Tayangan Halaman

Minggu, 24 April 2011

Aku Ingin Mencintaimu Dengan Sederhana (Cerita Islami 3)


Aku Ingin Mencintaimu Dengan Sederhana
Penulis : Inayati
http://ceritacinta.net/2007/11/01/aku-ingin-mencintaimu-dengan-sederhana/

Aku memandang kalender yang terletak di meja dengan kesal. Sabtu, 30 Maret 2002, hari ulang tahun perkawinan kami yang ketiga. Dan untuk ketiga kalinya pula Aa’ lupa. Ulang tahun pertama, Aa’ lupa karena harus rapat dengan direksi untuk menyelesaikan beberapa masalah keuangan perusahaan. Sebagai Direktur keuangan, Aa’ memang berkewajiban menyelesaikan masalah tersebut. Baiklah, aku maklum. Persoalan saat itu memang lumayan pelik.

Ulang tahun kedua, Aa’ harus keluar kota untuk melakukan presentasi. Kesibukannya membuatnya lupa. Dan setelah minta maaf, waktu aku menyatakan kekesalanku, dengan kalem ia menyahut,” Dik, toh aku sudah membuktikan cintaku sepanjang tahun. Hari itu tidak dirayakan kan tidak apa-apa. Cinta kan tidak butuh upacara…”

Sekarang, pagi-pagi ia sudah pamit ke kantor karena harus menyiapkan beberapa dokumen rapat. Ia pamit saat aku berada di kamar mandi. Aku memang sengaja tidak mengingatkannya tentang ulang tahun perkawinan kami. Aku ingin mengujinya, apakah ia ingat atau tidak kali ini. Nyatanya? Aku menarik napas panjang.

Heran, apa sih susahnya mengingat hari ulang tahun perkawinan sendiri? Aku mendengus kesal. Aa’ memang berbeda dengan aku. Ia kalem dan tidak ekspresif, apalagi romantis. Maka, tidak pernah ada bunga pada momen-momen istimewa atau puisi yang dituliskan di selembar kertas merah muda seperti yang sering kubayangkan saat sebelum aku menikah.

Sedangkan aku, ekspresif dan romantis. Aku selalu memberinya hadiah dengan kata-kata manis setiap hari ulang tahunnya. Aku juga tidak lupa mengucapkan berpuluh kali kata I love you setiap minggu. Mengirim pesan, bahkan puisi lewat sms saat ia keluar kota. Pokoknya, bagiku cinta harus diekspresikan dengan jelas. Karena kejelasan juga bagian dari cinta.

Aku tahu, kalau aku mencintai Aa’, aku harus menerimanya apa adanya. Tetapi, masak sih orang tidak mau berubah dan belajar? Bukankah aku sudah mengajarinya untuk bersikap lebih romantis? Ah, pokoknya aku kesal titik. Dan semua menjadi tidak menyenangkan bagiku. Aku uring-uringan. Aa’ jadi benar-benar menyebalkan di mataku. Aku mulai menghitung-hitung waktu dan perhatian yang diberikannya kepadaku dalam tiga tahun perkawinan kami. Tidak ada akhir minggu yang santai. Jarang sekali kami sempat pergi berdua untuk makan malam di luar. Waktu luang biasanya dihabiskannya untuk tidur sepanjang hari. Jadilah aku manyun sendiri hampir setiap hari minggu dan cuma bisa memandangnya mendengkur dengan manis di tempat tidur.
Rasa kesalku semakin menjadi. Apalagi, hubungan kami seminggu ini memang sedang tidak baik. Kami berdua sama-sama letih. Pekerjaan yang bertumpuk di tempat tugas kami masing-masing membuat kami bertemu di rumah dalam keadaan sama-sama letih dan mudah tersinggung satu sama lain. Jadilah, beberapa kali kami bertengkar minggu ini.

Sebenarnya, hari ini aku sudah mengosongkan semua jadual kegiatanku. Aku ingin berdua saja dengannya hari ini dan melakukan berbagai hal menyenangkan. Mestinya, Sabtu ini ia libur. Tetapi, begitulah Aa’. Sulit sekali baginya meninggalkan pekerjaannya, bahkan pada akhir pekan seperti ini. Mungkin, karena kami belum mempunyai anak. Sehingga ia tidak merasa perlu untuk meluangkan waktu pada akhir pekan seperti ini.

”Hen, kamu yakin mau menerima lamaran A’ Ridwan?” Diah sahabatku menatapku heran. ”Kakakku itu enggak romantis, lho. Tidak seperti suami romantis yang sering kau bayangkan. Dia itu tipe laki-laki serius yang hobinya bekerja keras. Baik sih, soleh, setia… Tapi enggak humoris. Pokoknya, hidup sama dia itu datar. Rutin dan membosankan. Isinya cuma kerja, kerja dan kerja…” Diah menyambung panjang lebar. Aku cuma senyum-senyum saja saat itu. Aa’ memang menanyakan kesediaanku untuk menerima lamaranku lewat Diah.

”Kamu kok gitu, sih? Enggak senang ya kalau aku jadi kakak iparmu?” tanyaku sambil cemberut. Diah tertawa melihatku. ”Yah, yang seperti ini mah tidak akan dilayani. Paling ditinggal pergi sama A’ Ridwan.” Diah tertawa geli. ”Kamu belum tahu kakakku, sih!” Tetapi, apapun kata Diah, aku telah bertekad untuk menerima lamaran Aa’. Aku yakin kami bisa saling menyesuaikan diri. Toh ia laki-laki yang baik. Itu sudah lebih dari cukup buatku.

Minggu-minggu pertama setelah perkawinan kami tidak banyak masalah berarti. Seperti layaknya pengantin baru, Aa’ berusaha romantis. Dan aku senang. Tetapi, semua berakhir saat masa cutinya berakhir. Ia segera berkutat dengan segala kesibukannya, tujuh hari dalam seminggu. Hampir tidak ada waktu yang tersisa untukku. Ceritaku yang antusias sering hanya ditanggapinya dengan ehm, oh, begitu ya… Itupun sambil terkantuk-kantuk memeluk guling. Dan, aku yang telah berjam-jam menunggunya untuk bercerita lantas kehilangan selera untuk melanjutkan cerita.

Begitulah… aku berusaha mengerti dan menerimanya. Tetapi pagi ini, kekesalanku kepadanya benar-benar mencapai puncaknya. Aku izin ke rumah ibu. Kukirim sms singkat kepadanya. Kutunggu. Satu jam kemudian baru kuterima jawabannya. Maaf, aku sedang rapat. Hati-hati. Salam untuk Ibu. Tuh, kan. Lihat. Bahkan ia membutuhkan waktu satu jam untuk membalas smsku. Rapat, presentasi, laporan keuangan, itulah saingan yang merebut perhatian suamiku.
Aku langsung masuk ke bekas kamarku yang sekarang ditempati Riri adikku. Kuhempaskan tubuhku dengan kesal. Aku baru saja akan memejamkan mataku saat samar-samar kudengar Ibu mengetuk pintu. Aku bangkit dengan malas.

”Kenapa Hen? Ada masalah dengan Ridwan?” Ibu membuka percakapan tanpa basa-basi. Aku mengangguk. Ibu memang tidak pernah bisa dibohongi. Ia selalu berhasil menebak dengan jitu.

Walau awalnya tersendat, akhirnya aku bercerita juga kepada Ibu. Mataku berkaca-kaca. Aku menumpahkan kekesalanku kepada Ibu. Ibu tersenyum mendengar ceritaku. Ia mengusap rambutku. ”Hen, mungkin semua ini salah Ibu dan Bapak yang terlalu memanjakan kamu. Sehingga kamu menjadi terganggu dengan sikap suamimu. Cobalah, Hen pikirkan baik-baik. Apa kekurangan Ridwan? Ia suami yang baik. Setia, jujur dan pekerja keras. Ridwan itu tidak pernah kasar sama kamu, rajin ibadah. Ia juga baik dan hormat kepada Ibu dan Bapak. Tidak semua suami seperti dia, Hen. Banyak orang yang dizholimi suaminya. Na’udzubillah!” Kata Ibu.

Aku terdiam. Yah, betul sih apa yang dikatakan Ibu. ”Tapi Bu, dia itu keterlaluan sekali. Masak Ulang tahun perkawinan sendiri tiga kali lupa. Lagi pula, dia itu sama sekali tidak punya waktu buat aku. Aku kan istrinya, bu. Bukan cuma bagian dari perabot rumah tangga yang hanya perlu ditengok sekali-sekali.” Aku masih kesal. Walaupun dalam hati aku membenarkan apa yang diucapkan Ibu.

Ya, selain sifat kurang romantisnya, sebenarnya apa kekurangan Aa’? Hampir tidak ada. Sebenarnya, ia berusaha sekuat tenaga untuk membahagiakanku dengan caranya sendiri. Ia selalu mendorongku untuk menambah ilmu dan memperluas wawasanku. Ia juga selalu menyemangatiku untuk lebih rajin beribadah dan selalu berbaik sangka kepada orang lain. Soal kesetiaan? Tidak diragukan. Diah satu kantor dengannya. Dan ia selalu bercerita denganku bagaimana Aa’ bersikap terhadap rekan-rekan wanitanya di kantor. Aa’ tidak pernah meladeni ajakan Anita yang tidak juga bosan menggoda dan mengajaknya kencan. Padahal kalau mau, dengan penampilannya yang selalu rapi dan cool seperti itu, tidak sulit buatnya menarik perhatian lawan jenis.

”Hen, kalau kamu merasa uring-uringan seperti itu, sebenarnya bukan Ridwan yang bermasalah. Persoalannya hanya satu, kamu kehilangan rasa syukur…” Ibu berkata tenang.

Aku memandang Ibu. Perkataan Ibu benar-benar menohokku. Ya, Ibu benar. Aku kehilangan rasa syukur. Bukankah baru dua minggu yang lalu aku membujuk Ranti, salah seorang sahabatku yang stres karena suaminya berselingkuh dengan wanita
dan sangat kasar kepadanya? Bukankah aku yang mengajaknya ke dokter untuk mengobati memar yang ada di beberapa bagian tubuhnya karena dipukuli suaminya?

Pelan-pelan, rasa bersalah timbul dalam hatiku. Kalau memang aku ingin menghabiskan waktu dengannya hari ini, mengapa aku tidak mengatakannya jauh-jauh hari agar ia dapat mengatur jadualnya? Bukankah aku bisa mengingatkannya dengan manis bahwa aku ingin pergi dengannya berdua saja hari ini. Mengapa aku tidak mencoba mengatakan kepadanya, bahwa aku ingin ia bersikap lebih romantis? Bahwa aku merasa tersisih karena kesibukannya? Bahwa aku sebenarnya takut tidak lagi dicintai?

Aku segera pamit kepada Ibu. Aku bergegas pulang untuk membereskan rumah dan menyiapkan makan malam yang romantis di rumah. Aku tidak memberitahunya. Aku ingin membuat kejutan untuknya.

Makan malam sudah siap. Aku menyiapkan masakan kegemaran Aa’ lengkap dengan rangkaian mawar merah di meja makan. Jam tujuh malam, Aa’ belum pulang. Aku menunggu dengan sabar. Jam sembilan malam, aku hanya menerima smsnya. Maaf aku terlambat pulang. Tugasku belum selesai. Makanan di meja sudah dingin. Mataku sudah berat, tetapi aku tetap menunggunya di ruang tamu.

Aku terbangun dengan kaget. Ya Allah, aku tertidur. Kulirik jam dinding, jam 11 malam. Aku bangkit. Seikat mawar merah tergeletak di meja. Di sebelahnya, tergeletak kartu ucapan dan kotak perhiasan mungil. Aa’ tertidur pulas di karpet. Ia belum membuka dasi dan kaos kakinya.

Kuambil kartu ucapan itu dan kubuka. Sebait puisi membuatku tersenyum.


Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Lewat kata yang tak sempat disampaikan
Awan kepada air yang menjadikannya tiada
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan kata yang tak sempat diucapkan
Kayu kepada api yang menjadikannya abu. *

For vieny, welcome to your husband’s heart.

*dikutip dari Aku ingin mencintaimu dengan sederhana karya Sapardi Djoko Damono.
Sumber : Majalah Ummi, edisi 12/XIII/2002

Al - Hammu Maut (Cerita Islami 2)


Al – Hammu Maut
Oleh Muhammad Shaleh Al - Qahthani

Hari itu Khalid hanya bias duduk termangu di meja kerjanya. Rasa bingung dan sedih nampak di garis wajahnya. Begitulah kesimpulan yang ditangkap Shaleh dari raut wajah sahabatnya itu. Ia pun segera bangkit dari kursinya mendatangi Khalid.

“Rasanya sebelum kita menjalin persahabatan, hubungan kita sudah lebih dari sekedar saudara. Sudah satu minggu ini kuamati, sepertinya engkau sedang disibukkan dengan sesuatu, sering tampak linglung. Rona duka bisa kubaca dari wajahmu. Sepertinya dirimu sedang memikul semua beban permasalahan dunia. Bicaralah, mungkin aku bias membantu meringankan beban permasalahan yang sedang engkau hadapi !” sapa Khalid memulai pembicaraan.

Setelah terdiam sebentar, Khalid pun langsung menyahut sapaan rekannya, Shaleh.

“Terima kasih, engkau sangat baik sekali. Akhir-akhir ini aku memang merasa perlu teman curhat untuk menumpahkan semua unek-unek dan permasalahan yang sedang kuhadapi, mungkin saja ia bisa memberiku  jalan keluar,” balas Khalid.

Khalid pun langsung merubah tempat duduknya dan kemudian ia tuangkan segelas the untuk Shaleh.

“Shaleh, engkau tahu sendiri kalau kini aku sudah tidak sendiri lagi. Sudah hampir delapan bulan aku tinggal bersama istriku di rumah kami. Permasalahannya kini adikku, Hamad, akan dating kemari. Mungkin setelah satu atau dua minggu ini. Rencananya ia akan melanjutkan studinya disini. Oleh karena itu orang tuaku terus mendesak agar ia harus tinggal bersama kami di rumah, daripada ia harus tinggal bersama teman-temannya di apartemen “para bujangan”. Karena mereka sangat khawatir kalau sampai terjadi penyimpanan dan hal yang tidak-tidak pada adikku ini. Engkau kan tahu sendiri bahwa apartemen seperti ini bisa ditempati oleh siapa saja, baik anak yang nakal maupun yang baik. Ya, yang namanya teman akan mengalir bersama yang lainnya,” ungkap Khalid.

“ Namun aku terpaksa menolak permintaan mereka, karena ia kini bukan anak kecil lagi. Kehadirannya di rumah kami bisa membawa bahaya dan bencana. Ya, kita semua dulu pernah melalui masa-masa remaja seperti itu. Karena suatu saat mungkin sajaaku harus keluar rumah di saat ia masih terlelapdalam tidurnya, atau mungkin juga ada saatnya aku tidak pulang kerumah untuk beberapa waktu lamanya karena urusan pekerjaan. Dan mungkin…mungkin…mungkin…” kata Khalid melanjutkan kalimatnya.

“Terus terang, sebenarnyaaku sudah menanyakan permasalahan ini pada seorang Ustadz. Ia pun mewanti-wantiku agar jangan sekali-kali memasukkan orang lain untuk tinggal bersama kami, meskipun ia adalah saudaraku sendiri. Dia mengingatkanku dengan salah satu hadist Rasulullah “Al – Hammu Maut !” yaitu, sesuatu yang paling berbahaya bagi istri kita adalahkerabat suaminya sendiri, seperti : saudara, paman, ataupun keponakan mereka. Karena mereka bisa keluar masuk rumah dengan sangat leluasa tanpa ada seorang pun yang akan menaruh curiga. Dari sinilah sebenarnya fitnah itu berpangkal. Dan tentu saja seseorang ingin bisa beristirahat bersama keluarganya di rumah dengan lebih leluasa, dan itu tak mungkin didapatkan dengan kehadiran adikku, Hammad, disana,” sambungnya lagi.

Diraihnya cangkir the yang ada di hadapannya. Setelah beberapa kali ia nikmati the itu, ia pun melanjutkan kata-katanya.

“setelah kujelaskan alasanku kepada mereka berdua, bahkan aku sampai bersumpah dengan nama Allah kalau sebenarnyadiriku mengharapkan kebaikan bagi adikku, Hammad, merekapun langsung marah besar. Mereka cerca diriku dihadapan keluarga. Mereka menuduhku telah durhaka dan sedang menderita penyakit jiwa. Mereka anggap selama ini aku memiliki niat buruk karena telah berprasangka yang tidak-tidak kepada adikku sendiri. Padahal dimatanya, istriku tak lain adalah seperti kakak perempuannya sendiri. Bahkan mereka menuduhku sebagai orang yang sedang diliputi rasa hsad dan dengki, tidak suka melihat kebaikan dating menjamah kehidupan saudaraku sendiri. Mereka piker aku tak suka melihat ia mampu melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi, universitas. Dan parahnya lagi, ayahku sampai mengancam seerti ini : “Perbuatan ini benar-benar sebuah aib di mata masyarakat. Demi Allah, kalau Hammad tidak tinggal bersamamu, kami berdua akan murka kepadamu sampai kami mati nanti, dan sejak hari ini kita tidak akan pernah saling mengenal lagi selamanya !” jelasnya lagi.

Sejenak Khalid menundukkan wajahnya. Kemudian ia melanjutkan lagi keluhannya,
“Sekarang aku benar-benar bingung dibuatnya. Satu sisi, aku ingin membuat orang tuaku bahagia, namun disisi lain, aku tak ingin mengorbankan kebahagiaan rumah tanggaku begitu saja. Bagaimana menurutmu ?” tanyanya kepada Shaleh.

Setelah meluruskan posisi duduknya, Shaleh pun mulai angkat bicara,

“Tentu engkau ingin agar aku mengatakan pendapatku yang sejujurnya dalam masalah ini. Khalid, menurutku rasa cemasmu sudah sangat di luar batas. Karena kalau tidak, mengapa engkau sampai harus berselisih dengan kedua orang tuamu seperti ini ? Bukankah kau tahu kalau keridhaan dan kemurkaan Allah sejalan dengan keridhaan dan kemurkaan kedua orang tua kita ? apa kirannya yang akan terjadi kalau ia benar-benar tinggal bersama kalian ? Apakah kehadirannya akan membuatmu semakin cemas dan gelisah ? Bahkan sebaliknya, seharusnya engkau bersyukur. Karena ialah yang akan menangani semua urusan saat engkau sedang tak ada di rumah dan dialah yang akan menggantikanmu sebagai kepala keluarga untuk sementara waktu.” Shaleh diam sebentar, ia ingin melihat reaksi Khalid setelah mendengar kata-katanya tadi. Setelah itu ia pun melanjutkan sarannya,

“Sekarang aku mau Tanya, mengapa engkau sampai berprasangka yang tidak-tidakseperti itu kepada adikmu sendiri ? Bagaimana mungkin engkau menuduh orang yang bersalah tanpa bukti sedikitpun ? Apakah engkau tak ingat akan firman Allah “Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah kebiasaan berburuk sangka, karena sesungguhnyaia merupakan salah satu perbuatan dosa ? Bukankah engkau percaya kepada istrimu ? Dan bukankah engkau percaya kepada adikmu ?” Tanya Shaleh.

Khalid pun langsung memotong perkataan sahabatnya itu,

“Aku percaya kepada mereka semua, tapi…”
Mendengar jawaban ragu-ragu seperti itu, Shaleh langsung menimpali,
“Ha, sekarang kita kembali kepada semula, ragu dan bingung lagi ! Percayalah Khalid bahwa adikmu, Hammad, akan menjaga keluargamu dengan baik, disaat engkau bersamanya ataupun disaat dirimu tak berada di tengah-tengah meraka. Tak mungkin rasanya ia mau macam-macam terhadap istrimu karena ia sudah seperti kakak perempuannya sendiri. Sekarang coba kau tanyakan pada dirimu sendiri, bagaimana seandainya ternyata Hammad sudah berkeluarga, apakah engkau akan berfikir untuk melakukan yang macam-macam terhadap istrinya ? Kurasa jawabannya sudah sangat ma’ruf sekali.”
“Khlaid, mengapa engkau sampai mengecewakan orang tua dan adikmu sendiri ? Kau hancurkan pernik=pernik keluargamu hanya karena kekhawatiran dan rasa cemas yang sangat tak berdasar ? Cobalah bersikap sedikit realistis ! Buatlah orang tuamu bahagia agar Allah pun memberikan keridhaan-Nya kepadamu ! untuk menghilangkan rasa cemasmu, kusarankan agar Hammad tinggal di ruang depan dank au buatkan pintu yang membetasi antararuang depan dan sisi kamar yang lainnya di dalam.”

Khalid nampaknya setuju dan cukup bisa menerima saran yang diberikan rekannya, Shaleh. Kini ia tidak lagi mempunyai alas an yang kuat untuk bisa menolak khadiran adiknya, Hammad, untuk tinggal bersama di rumah mereka.

Setelah selang beberapa hari, akhirnya Hammad pun tiba. Khalid menjemputnya di Bandara dan kemudian mereka berdua bergerak menuju kediaman Khalid dan keluarganya selama ini. Kini Hammad mulai menjalani hidupnya di ruang depan yang telah di sediakan untuknya.

Begitulah semuanya terjadi dan berlalu di bawah garis yang telah ditetapkan Allah. Kini empat tahun sudah berlalu.
Khalid pun kini sudah menginjak usianya yang ketiga puluh, sosok seorang ayah dengan “tiga orang putra” ; sementara Hammad, kini sudah memasuki tahun terakhirnya di Universitas. Khalid berjanji kepada adiknya bahwa ia akan berusaha untuk mencarikannya pekerjaan di Kampus yang sesuai dengannya disamping ia pun akan tetap tinggal bersama keluarga Khalid sampai ia berkeluarga nanti dan memiliki tempat tinggal sendiri.

Suatu sore, sebagaimana biasanya ketika Khalid sedang mengendarai mobil di salah satu jalan menuju kediamannya, nampak dari kejauhan dua sosok manusia di pinggir jalan. Ia pun segera mendekatinya. Ternyata mereka adalah seorang ibu tua da anak gadisnya yang sedang terkapar di pinggir jalan sambil meringis kesakitan.

“Tolongselamatkan kami…tolong kami !” terdengar ibu tua itu berteriak meminta bantuan kepada siapa saja yang ada di sekitarnya.

Khalid merasa sedikit anaeh melihat peristiwa yang ada di hadapan matanya. Rasa ingin tahu membewanya untuk lebih mendekat dan menanyakan langsung kepadanya apa yang telah terjadi. Ibu tua itu mengatakan bahwa mereka sebenarnya bukanlah penduduk kota tersebut. Belum sampai satu minggu mereka tinggal disana, sementara tak seorang pun yang mereka kenal di tempat tersebut. Adapun gadis itu, tak lain adalah putrinya sendiri. Suaminya sedang tugas keluar kota. Kini dirinya sedang berjuang menahan rasa sakit karena akan melahirkan sebelum waktunya. Hampir saja ia mati karena tak sanggup lagi menahan rasa sakit tersebut sementara sedari tadi ia tak menemukan seorang pun yang bisa mengantarkan mereka ke rumah sakit agar gadis itu bisa melahirkan dengan selamat di sana. Sambil meneteskan air mata, wanita tua itu memohon kepadanya,

“Kumohon ! Biar kucium kedua telapak kakimu ! Tolong antarkan kami ke rumah sakit terdekat, semoga Allah selalu menjaga keluarga anda semuanya dari segala musibah !”

Air mata ibu dan rintihan gadis itu ternyata mampu meluluhkan hati Khalid. Ia pun merasa sangat kasihan melihat kondisi mereka berdua. Dengan lasan ingin menolong sesame yang sedang di timpa musibah, selain juga demi menjaga kehormatannya, akhirnya Khalid pun bersedia mengantarkan mereka berdua ke rumah sakit terdekat. Selama perjalanan wanita tua itu tak henti-hentinya berdoa agar Allah membelas semua kebaikan Khalid dengan keberkahan pada keluarganya.

Selang beberapa waktu kemudian, mereka pun sampai di rumah sakit. Setelah menyelesaikan semua urusan administrasi dengan pihak rumah sakit, gadis itu pun dibawa ke ruang operasi untuk menjalani bedah sesar karena ternyata kondisinya tak mungkin untuk melahirkan secara normal.

Demi tetap menjaga kehormatannya, Khalid tak meninggalkan mereka begitu saja setelah ia mengantarkannya ke rumah sakit sebelum ia benar-benar yakin bahwa proses operasi sesar berjalan dengan lancer. Ia beritahukan kepada wanita tersebut bahwa ia akan menanti di ruang tunggu khusus pria. Khalid memintanya agar segera memberitahukannya jika anaknya telah melahirkan dengan selamat. Tak lupa ia telpon istrinya di rumah untuk memberitahukan bahwa ia akan agak telat pulang malam itu.

Tampaknya Khalid duduk menanti sambil menyandarkan pundaknya di tembok. Tanpa terasa kedua kelopak matanya mulai merapat, ia pun kemudian tertidur untuk beberapa waktu lamanya. Khalid tak lagi ingat berapa lama ia tertidur di tempat itu. Namun satu hal yang masih benar-benar melekat di dalam memorinyaadalah bahwa ia tiba-tiba terbangun dari tidurnya karena dikagetkan oleh teriakan dan ratapan tangis. Segera ia terjaga dari tidurnya dengan sangat terkejut. Dilihatnya wanita tua, ibu dari gadis tadi berteriak-teriak sambil menunjuk-nunjuk dengan tangannya,

“Itu dia orangnya, itu dia !”
Khalid benar-benar merasa heran ketika melihat sikap wanita tersebut. Segera dihampirinya. Dengan penuh rasa ingin tahu ia pun bertanya,

“Nah, bagaimana ? Lancar lahirnya ?”
Sebelum wanita itu melanjutkan kata-katanya, tiba-tiba dua orang petugas keamanan melangkah mendekati Khalid.

“Anda Khalid ?” tanyanya.
“Ya.”
“Kami minta waktu sebentar, mungkin hanya lima menit saja, mari ke ruang direktur rumah sakit !” kata petugas tadi kepadanya.

Mereka pun segera menuju ruang direktur. Di sana sekali lagi wanita tua itu menangis sambil berteriak-teriak. Sambil memukuli wajahnya dan menarik-narik rambutnya sendiri dan berkata,
“Ini dia pelakunya ! kumohon, tolong jangan biarkan dia pergi ! Engkau harus bertanggung jawab terhadap anak perempuanku !”

Kali ini Khalid benar-benar dibuatnya pusing, bingung, entah apa yang sedang terjadi di sekitarnya. Semua keheranannya baru mulai terjawab ketika salah seorang petugas mengatakan kepadanya bahwa wanita ini menuduhnya telah memperkosa anak gadisnya secara paksa hingga akhirnya ia hamil akibat perbuatannya. Tudingnya lagi bahwa Khalid bersedia menikahinya setelah gadis itu melahirkan dan kemudian meletakkan anaknya di depan pintu salah satu Masjid agar nantinya bayi itu di ambil oleh pihak Panti Sosial.

Tak kuat mendengar tudingan tersebut, akhirnya Khalid langsung terlungai. Lidahnya terasa kelu, kata-katanya tak tertahan di kerongkongan. Ia pun akhirnya jatuh ke lantai, pingsan.

Tak berapa lama setelah itu, Khalid siuman kembali. Dilihatnya dua orang petugas masih setia bersamanya di ruangan itu. Salah seorang dari mereka yang memang sudah cukup spesialis menangani masalah ini segera melangkah mendekati Khalid.
“Khalid, katakan yang sejujurnya ! penampilanmu menunjukkan bahwa engkau orang baik-baik dan bukan termasuk mereka yang biasa melakukan hal semacam ini !” pinta petugas itu kepada Khalid.

Meskipun perih luka masih terasa menyayat hatinya, namun Khalid berusaha untuk menjawab pertanyaan tersebut.
“Hai, orang-orang ! Apakah seperti ini cara kalian membalas sebuah kebaikan ? Saya ini orang terhormat, saya sudah berkeluarga dan dikaruniai tiga orang anak. Dua putra dan satu putrid : Sami, Sa’ud dan Henadi. Nama mereka semua tertera di dalam kartu keluarga saya. Saya bekerja di … dan tinggal di …

Khalid tak mampu menguasai dirinya. Deraian hangat air matanya pun mulai membesahi pipi. Air mata seseorang yang sedang terzalimi, air mata yang mengalir dari kelopak seorang yang tak bersalah lagi berdosa. Kemudian Khalid pun menceritakan kepada mereka peristiwa yang sebenarnya telah terjadi antara dirinya dan wanita tua itu beberapa saat yang lalu.

Setelah ia ceritakan semuanya, petugas tersebut langsung berkata,
“Permasalahan ini tidak akan memberatkan anda. Saya percaya kalau anda tidak bersalah dalam kasus ini. Namun demi kepentingan birokrasi hokum, anda harus menunjukkan bukti bahwa anda tidak bersalah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Tidak terlalu rumit, hanya perlu melakuakan pengecekan medis khusus yang kiranya akan mengungkapkan yang sebenarnya.”

“Yang sebenarnya apa ?” potong Khalid, “Yang sebenarnya diriku tak bersalah sama sekali dalam permasalahan ini ! Apakah kalian tidak percaya ? kalau anjing saja bias membalas kebaikan tuannya, bagaimana mungkin manusia bisa menghianati orang yang telah berbuat baik kepadanya?”

Keesokan harinya sampel sperma Khalid di ambil untuk dilakukan pengecekan medis di laboratorium. Ditemani oleh seorang petugas, Khalid menanti hasil pemeriksaan laboratorium di ruang lain. Tak henti-hentinya ia memohon kepada Allah agar mengungkapkan apa yang sebenarnya telah terjadi.

Setelah dua jam berlalu, hasil yang ditunggu-tunggu pun akhirnya selesai juga. Pemeriksaan medis menunjukkan bahwa Khalid tidak bersalah dan bebas dari tudinganini. Nampaknya Khalid tak mampu menahan kegembiraannya. Ia pun segera sujud syukur kepada Allah karena akhirnyaterbukti bahwa dirinya tiaklah bersalah. Sementara petugas keamanan meminta maaf atas apa yang telah mereka lakukan. Adapu wanita tersebut, akhirnya digiring ke kantor polisi untuk dimintai keterangan dan akan diproses lebih lanjut.

Sebelum meninggalkan rumah sakit, Khalid sengaja mendatangi Dokter Spesialis yang menangani kasusnya di ruang prakteknya untuk pamit pulang. Namun kali ini Dokter tersebut membuatnya sedikit terkejut.
“Kalu boleh, saya ingin bicara kepada anda beberapa menit saja ?” kata Dokter itu. Ia tampak agak sedikit bingung dan ragu. Sejenak ia coba untuk mengumpulkan semua kekuatannya lalu berkata,
“Khalid, sebenarnya dari uji coba sampel yang telah dilakukan terhadap dirimu, saya ragu … sepertinyaanda mengidap penyakit tertentu. Namun saya tidak bisa memastikannya. Oleh karena itu, saya ingin melakukan pemeriksaan terhadap anak dan istrimu agar saya bisa lebih yakin lagi,” kata Dokter itu.

“Tolong, Dok, katakana apa yang sebenarnya menimpa diri saya? Saya siap menerima semua keputusan dan Takdir Allah. Yang penting sekarang anak-anak saya yang masih kecil-kecil. Saya siap mengorbankan diri saya demni mereka semua,” sergah Khalid. Nampak sekali kekhawatiran terpancar dari raut wajahnya. Setelah itu, ia pun mulai menangis sedih. Dokter itupun segera berusaha untuk menenangkan hatinya.

“Sebenarnya saya tak mungkin mengatakan kepada anda apa yang sebenarnya terjadi sampai saya benar-benar yakin terhadap permasalahan ini. Karena mungkin saja keragu-raguan saya ini tidak pada tempatnya. Yang penting sekarang, segera bawa istri dan ketiga anak anda!” pintanya kepada Khalid.

Beberapa jam kemudian, Khalid sudah tiba kembali di rumah sakit. Kali ini ia dating bersama istri dan ketiga anaknya. Mereka pun segera melakukan pemeriksaan laboratorium sebagaimana yang telah ditentukan. Setelah itu, ia antarkan ke mobil. Sementara Khalid kembali mendatangi pak Dokter tersebut untuk berbincang-bincang sejenak dengannya. Ketika mereka sedang asyik berbicara,bunyi Ponsel Khalid sedang berdering. Segera diangkatnya dan kemudian ia matikan kembali setelah beberapa saat ia berbicara dengan si penelpon. Pembicaraannya dengan Dokter itu pun ia lanjutkan.
“Siapa dia, orang yang tadi anda perintahkan untuk membobol pintu rumah?”
“Dia adikku, Hammad. Ia tinggal bersama kami. Katanya tadi ia kehilangan kunci, makanya ia minta agar saya segerakembali ke rumah,” jawab Khalid.
“Sudah berapa lama ia tinggal bersama kalian?”
“sudah sekitar empat tahun ini. Sekarang ia sedang menyelesaikan tahun terakhirnya di Universitas,” jawab Khalid.

“Apa mungkin anda bawa ia kemari, agar kita bisa melakukan pemeriksaan kesehatan, agar saya bisa lebih yakin apakah penyakit ini turunan ataukah bukan?” pinta Dokter tersebut.

“Oh, dengan senang hati, Pak,” sahut Khalid.

Pada waktu yang telah ditentukan, Khalid dan Hammad kembali mendatangi rumah sakit tersebut untuk melakukan pemeriksaan kesehatan. Setelah selesai, Dokter itu meminta Khalid untuk kembali lagi setelah satu minggu agar ia bisa mengetahui dengan yakin hasil akhir dari pemeriksaan tersebut.

Sementara itu, rasa gelisah terus menghantui Khalid selama seminggu ini. Hingga tibalah hari H, Khalid pun kembali mendatangi pak Dokter yang telah menantinya dan menyambutnya dengan penuh cita. Segelas lemon di suguhkannya kehadapan Khalid. Sesaat kemudian, pak Dokter itu mulai memberikan nasihatnya kepada Khalid agar ia mampu lebih bersabar ketika menghadapi cobaan dan ujian. Begitulah memang rona kehidupan di dunia.

Mendengar nasihat itu, Khalid langsung memotong pembicaraan pak Dokter itu,
“Tolong, dok, jangan buat diri saya semakin cemas! Saya siap untuk menerima penyakit apapun juga. Ini memang sudah menjadi ketentuan Allah. Apa yang sebenarnya telah terjadi?”

tampak Dokter itu menundukkan kepalanya sejenak sebelum ia melanjutkan kata-katanya,
“Terkadang, tak jarang kenyataan yang harus kita hadapi terasa begitu pahit dan memilukan. Namun bagaimanapun pahitnya, kita harus tetap mengetahui dan siap untuk menghadapinya. Lari dari kenyataan tidak akan memberikan penyelesaian ataupun merubah keadaan.”
Sejenak ia terdiam. Lalu katanya lagi,
“Khalid, sesungguhnya engkau ini mandul, tak mampu memiliki keturunan. Dan ketiga orang anak di rumahmu itu sebenarnya bukanlah anak kandungmu, namun ia adalah anak adikmu, Hammad!”

Tak sanggup Khalid mendengar pernyataan Dokter tersebut. Ia pun langsung berteriak histeris karenanya. Teriakannya terdengar mengaung di langit-langit ruang. Sejurus kemudian ia pun langsung jatuh pingsan, lunglai tak berdaya.

Setelah dua minggu berlalu, Khalid pun mulai siuman dari tidur panjang di bawah alam tak sadarnya. Sementara semua pernik kehidupan yang telah ia bangun selama ini kini telah hancur lebur berantakan entah kemana.

Kini Khalid menderita lumpuh sebelah badan dan hilang ingatan akibat shock berat. Ia pun kemudian harus di pindahkan ke rumah sakit jiwa untuk beberapa waktu lamanya. Sementara istrinya, kini di ajukan ke Mahkamah Syar’iah untuk meminta pengakuaannya dan menjatuhkan hukuman Rajam kepadanya. Adapun adiknya, Hammad, kini ia harus mendekam di penjara, menunggu vonis hukuman yang akan dijatuhkan kepadanya. Sementara ketiga anaknya kini di alihkan pengasuhannya kepada lembaga social agar mereka tinggal bersama anak-anak jalanan dan para yatim di sana. Begitulah ketentuan Allah berlaku hingga akhir jaman, “Al-Hammu Maut”, kehadiran ipar dan kerabat suami merupakan sumber permasalahan, dan kita tidak akan pernah mendapati perubahan apapun atas semua ketentuan Allah.

Busana Muslim Viody




































Tugas Akhir Semester 2 Untuk Kelas 8A-8I

Tugas Kelompok

1.      Menyebutkan nama-nama bagian pada lembar kerja Microsoft excel 2007 disertai dengan gambarnya !
2.     Menyebutkan 2 cara mengaktifkan lembar kerja Microsoft excel 2007 disertai dengan gambarnya !
3.    Menyebutkan 7 menu dan fungsi submenu yang terdapat didalamnya !
4.    Menyebutkan fungsi 10 ikon yang sering digunakan pada Microsoft excel 2007 disertai dengan gambar ikonnya !
5.     Menjelaskan prosedur cara menggunakan ikon new, save, open dan print pada Microsoft excel 2007 dengan keyboard dan mouse !
6.    Membuat 7 macam chart dengan menggunakan tabel di buku BSE hal 134 !

Selamat Berkreasi