Total Tayangan Halaman

Selasa, 25 Januari 2011

Aku Bangun Pagi-pagi Sekali (Cerita Islami 1)

Aku Bangun Pagi-pagi Sekali
Oleh Muhammad Shaleh Al - Qahthani

Aku bangun dari tidur pagi-pagi sekali sebagaimana biasa, meski aku tahu hari ini aku libur. Demikian halnya si kecilku Maryam, ia juga sudah terbiasa bangun pagi.
Aku duduk di mejaku sibuk dengan buku-buku dan berkas-berkasku.

“Ibu, apa yang sedang ibu tulis?” suara lirih Maryam menyapaku.
“Ibu menulis surat kepada Allah.” Jawabku singkat.
“Apa ibu tidak keberatan kalau aku membacanya?” pintanya penasaran.
“Tidak boleh saying, ini surat pribadi ibu, dan ibu tidak ingin ada orang lain yang membacanya.” Aku coba menenangkannya.

Maryam keluar dari ruang kerjaku, sepertinyaia sedikit ngambek, ah, ia memang sudah biasa begitu. Aku memang sering menolak permintaannya.

Beberapa minggu kemudian :
Aku pergi ke kamar Maryam untuk pertama kalinya sejak aku menulis surat minggu lalu. Hmm, kenapa ia terlihat agak gugup.
“Maryam, apa yang sedang kamu tulis.”
Ia bertambah gugup sebelum akhirnya menjawab :
“Bukan apa-apa kok bu, ini surat pribadiku kepada allah, aku menulisnya seperti yang ibu lakukan.”

Oh, apa sih yang ditulis anak umur sembilan tahun ini hingga ia tidak bersedia aku melihatnya.
“Tapi bu apakah semua yang kita tulis kepada Allah akan terlaksana?” ia bertanya agak serius kali ini.
“Tentu saja anakku, Allah kan Maha mengetahui segala sesuatu.” Aku coba ingin membaca apa yang ia tulis tapi ia tetap tidak mengizinkanku membacanya.

Aku lalu keluar dari kamar maryam dan pergi melihat Rasyid untuk membacakan isi Koran kepadanya sebgaimana biasa. Aku membaca Koran sementara aku masih gelisah memikirkan puteriku. Rasyid melihat kegelisahanku itu dan mengira dialah penyebabnya, ia lalu berusaha menenangkanku dan menyarankan agar aku menyewa perawat saja untuk merawat dirinya, itu supaya bisa mengurangi bebanku mengurus dirinya.

Ya Allah, kenapa ia bisa berpikiran seperti itu, aku langsung memeluk kepalanya dan menciumi keningnya yang selama ini berkeringat demi menghidupi aku dan anaknya Maryam, dan sekarang ia malah mengira bahwa aku sedih karena ia menjadi beban hidupku, oh aku merasa bersalah karena ini. Akupun menjelaskan padanya sebab kegelisahanku tadi.

*****
Hari ini Maryam ke sekolah, ketika ia pulang dokter kebetulan masih berada di rumah, ia segera bergegas menghampiri ayahnya yang terbaring sakit, dengan penuh kasih saying ia duduk disamping ayahnya, menghiburnya dan menyemangatinya dengan penuh seksama.

Dokter menjelaskan kepadaku bahwa keadaan Rasyid makin bertambah buruk sebelum ia pergi, aku lupa bahwa Maryam masihlah anak-anak, ia terlalu kecil untuk mendengar berita menyedihkan ini. Tanpa sungkan aku menyatakan padanya bahwa keadaan liver ayahnya semakin parah dan bahwa ia tak kan bisa hidup lebih dari tiga minggu. Maryam terkejut dan menangis mendengar itu semua sambil sesekali meratap : “Mengapa ini harus terjadi pada ayahku, mengapa?!”

“Doakan ayahmu agar bisa sembuh nak, kamu harus tegar dan jangan lupa akan kasih saying Allah yang Maha Kuasa atas segala sesuatu, engkaulah anaknya satu-satunya, hanya engkau harapannya.”

Maryam terdiam ia berusaha melupakan kesedihannya bahkan dengan berani ia berkata : “Ayah tidak akan mati.”

Keesokan harinya tidak seperti biasanya, kali ini Maryam menciumi pipi ayahnya yang hangat sebelum berangkat ke sekolah, ia pandangi ayahnya dengan pandangan yang penuh arti, selanjutnya ia berkata : “aku harap suatu hari nanti ayah bisa mengantarku ke sekolah sebagaimana teman-temanku yang lain.”

Mendengar itu hati Rasyidpun diliputi kesedihan, namun ia berusaha menyembunyikannya, ia hanya bisa berkata : “Insya Allah suatu saat nanti ayah akan mengantarmu ke sekolah seperti dulu lagi”. Sedikit senyum dipoleskan dibibirnya, ia berusaha meyakinkan anaknya ini, meski ia sadar anaknya tak sepenuhnya gembira mendengar ucapannya tadi.

Akupun mengantarkan Maryam ke sekolah, sepulangnya tiba-tiba aku diliputi rasa penasran, aku ingin tahu apasebenarnya yang ditulis Maryam dalam surat-surat pribadinya kepada Allah itu. Aku masuk ke kamarnya, kucari-cari di mejanya tapi tak kutemukan apa-apa. Kemana ia menyimpannya bisikku dalam hati, oh mungkin disana, tiba-tiba mataku tertuju pada sebuah kotak kecil, ya kotak inilah yang dulu Maryam merengek memintanya dariku lalu aku kosongkan isinya dan kuberikan padanya. Ya Tuhan, rupanya kotak ini berisi banyak surat, semuanya ditujukan kepada Allah. Akupun mulai membacanya satu per satu.

“Tuhanku, mudah-mudahan anjingtetanggaku Sa’id segera mati, karena ia sering manakutnakuti aku.”

“Tuhanku, jadikanlah kucing kami melahirkan anak-anak yang banyak sebagaimana ganti kucingku yang mati.”

“Tuhanku, jadikanlah sepupuku lulus ujian, karena aku menyukainya.”

“Tuhanku, semoga bunga di pekarangan rumah kami segera mekar, karena aku ingin menghadiahkannya buat bu guru.”

Ya tuhanku, kesemua doa yang ia tulis dalam surat ini terkabulkan, anjing tetangga kami yang galak itu memang sudah mati beberapa minggu yang lalu, selanjutnya kucing kesayangannya di rumah ini juga telah melahirkan anak yang banyak, bunga-bunga yang ada di pekarangan juga telah bermekaran dan itulah yang dibawa Maryam setiap hari buat bu gurunya. Tapi mengapa ia tidak menulis surat untuk kesembuhan ayahnya??

Aku berharap ia berdoa untuk ayahnya. Aku terus memikirkannya sampai deringan telepon membuyarkan lamunanku, deringan yang cukup mengagetkan disusul dengan teriakan pembantu yang memanggil : “Nyonya, dari sekolahan nyonya…” Sekolahan, oh ada apa dengan Maryam, apakah dia nakal.

Ya Allah ia mengatakan padaku bahwa Maryam jatuh dari lantai empat ketika ia pulang dari rumah bu gurunya yang tidak masuk untuk memberikannya karangan bunga.
Tentu saja ini merupakan ujian terberat dalam hidupku, aku tak sanggup memikulnya demikian pula Rasyid. Saking shocknya ia sampai tak dapat berkata-kata beberapa lama. Bagaimana mungkin puteriku satu-satunya meninggalkanku begitu cepat?!

Tapi itulah takdir yang harus aku jalani, aku hanya bisa pasrah dan berserah diri pada Allah, mungkin dibalik ini ada hikmah yang besar bagi kami.

Setelah kejadian itu aku berusaha menipu diri sendiri, setiap pagi aku datang ke sekolahnya seperti layaknya aku mengantarnya waktu ia masih hidup, aku juga selalu melakukan hal-hal yang dulunya disukai oleh putriku. Tiap sudut dari rumah ini mengingatkanku akan dirinya, manjanya, tawanya yang membuat suasana rumah ini menjadi hidup, namun sekarang itu semua tinggal kenangan belaka, tak ada lagi manja, tak ada lagi tawa.

Beberapa Tahun Setelah Kepergiannya

Hari itu hari jum’at, aku dikejutkan oleh pembantu yang merasa ketakutan, katanya ia mendengar suara yang berasal dari kamar Maryam. Ya Allah apa mungkin Maryam kembali? Ah itu hanya khayalanku saja. Aku memang belum pernah menginjak lagi kamar itu sejak Maryam tiada. Aku segera bergegas menju kamar tersebut, dengan harap-harap cemas ku raih anak kunci dan perlahan kubuka pintu kamar. Begitu pintu kamar terbuka akupun tak dapat menahan tangis, kenangan bersamanya seolah terekam kembali di pelupuk mataku. Kuhempaskan tubuhku di ranjangnya, tapi oh, kok ranjang ini sepertinya bergoyang?! Oh ya, aku baru ingat, dulu ia memang sering mengeluh kalau ranjangnya itu sering dan mengeluarkan suara bila ia tidur di atasnya, dan aku selalu lupa menyuruh tukang kayu memperbaikinya, namun sekarang itu sudah tak ada gunanya lagi. Tapi apakah yang menyebabkan ranjang ini mengeluarkan suara? Rupanya ada sebuah papan tulis dari kayu berhiaskan ayat kursi yang jatuh, inilah yang selalu dibaca Maryam setiap hari agar ia bias menghafalnya, ketika aku hendak menggantungkannya kembali, tiba-tiba ada sesuatu yang jatuh dari dalamnya, sebuah surat, ternyata ini adalah salah satu surat yang ditulis Maryam kepada Allah.

Aku setengah tak percaya setelah membaca apa isinya, di dalamnya tertulis : “Ya Tuhanku, jangan ambil nyawa ayahku, tapi ambillah aku sebagai gantinya.

Ya Allah, peliharalah kami dan anak-anak kami dan jadikanlah mereka bermanfaat bagi kami setelah kami meninggal nanti.